1)
Free Fatty Acid (FFA)
Free
Fatty Acid (FFA)/ asam lemak jenuh merupakan produk
yang dihasilkan ketika suatu trigliserida mengalami reaksi hidrolisis. Terjadinya
reaksi hidrolisis dapat menyebabkan kerusakan pada minyak atau lemak,
dikarenakan adanya reaksi hidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserol.
Adanya senyawa asam lemak ini menyebabkan kestabilan dari minyak terganggu.
Minyak merupakan senyawa non polar sedangkan asam lemak dan gliserol merupakan
senyawa polar, sehingga apabila kandungan asam lemak dan gliserol dalam minyak
berlebih akan menyebabkan minyak cepat rusak. Adapun reaksi hidrolisis yang
terjadi adalah sebagai berikut :
Gambar
5. Reaksi hidrolisi minyak dan lemak
Selain itu asam lemak bebas dalam
konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan rendemen minyak sawit menjadi turun,
sehingga kandungan FFA ini perlu dilakukan analisa dan pengontrolan dari awal
agar kandungan dan kualitas dari minyak yang akan dihasilkan bagus. Selain itu,
perlunya pengontrolan kadar FFA dalam minyak ini agar tidak mengganggu dalam
proses pengolahan minyak sawit yaitu ketika pada CPO Ffa tinggi akan
menyebabkan warna akan lebih sukar direduksi, dikarenakan bleching earth (BE) yang ditambahkan yang bersifat polar akan lebih
senang berikatan dengan FFA sehingga membentuk
stubborn red yang lebih stabil
sehingga warna susah direduksi, selain itu akan meyebabkan pemakaina BE yang
sangat banyak.
Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi
dan hidrolisis enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Kemudian asam lemak
bebas ini membentuk lagi asam lemak trans dan radikal bebas. Jika kita
mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi maka
akan menyebabkan naiknya kadar LDL dan turunnya kadar HDL darah, mengurangi
kemampuan tubuh mengendalikan gula darah karena dapat mengurangi respon
terhadap hormon insulin. Karena minyak sawit merupakan bahan makanan yang
nantinya akan dikonsumsi, maka adanya kadar FFA didalamnya harus sekecil
mungkin agar tidak membahayakan kesehatan para konsumen. Itulah mengapa adanya
kadar FFA ini dalam minyak sawit dan turunannya perlu dilakukan analisis dan
pengontrolan.
Analisis FFA ini
dilakukan dengan metode titrasi asam basa antara minyak yang didalamnya
terdapat asam lemak dengan NaOH. Minyak atau lemak dilarutkan terlebih dahulu
ke isopropil alkohol yang bersifat semipolar seperti minyak. Kemudian
dihasilkan sabun dan air. Sabun yang dihasilkan bersifat basa kuat sehingga
digunakan indikator PP yang mempunyai range
pH 8,2-10.0. Indikator PP digunakan untuk menunjukkan titik
akhir titrasi yakni berwarna merah muda permanen. PP bereaksi dengan basa
membentuk ion fenolat yang berwarna merah muda dalam larutan. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut :
R-COOH + NaOH --> R-COONa + H2O
2) Moisture (kadar Air)
Moisture (kadar air)
perlu dilakukan analisis dikarenakan adanya kandungan air ini nantinya akan mampu
memicu pertumbuhan mikroba yang dapat memproduksi enzim serta adanya air akan
bereaksi dengan trigliseridanya menghasilkan gliserol dan FFA. Sehingga apabila
kadar airnya banyak maka secara otomatis akan menaikkan nilai FFA, yang
nantinya senyawa tersebut mudah teroksidasi dan efek berkelanjutannya dapat
menyebabkan ketengikan pada minyak. Pada pengolahan, semakin tinggi nilai
moisture akan menyebabkan waktu reaksi menjadi lama, akibatnya hasil reaksi
tidak maksimal. Sedangkan pada produk, jika kandungan moisture tinggi akan
mempercepat laju hidrolisi yang artinya akan mempercepat naiknya FFA dan
kerusakan kestabilan minyak.
Adapun kadar air dalam minyak dapat mengalami
kenaikan, hal ini dikarenakan pada proses pengolahan dari raw material dan
penyimpanan minyak sendiri yang terkena kelembapan udara, atau karena adanya
reaksi oksidasi. Selama proses oksidasi terjadi, akan terbentuk gas CO2,
senyawa volatil, dan sejumlah kecil molekul air.
Analisa moisture terbagi dalam 3 metode :
1.
Metode Hot plate
Pada analisa moisture dengan metode
ini biasanya digunakan untuk analisa kadar moisture pada CPO di sampling tower.
Analisa jenis ini merupakan jenis analisa yang kualitatif saja. Dimana tahapan
yang dilakukan adalah sampel CPO dipanaskan diatas hot plate, apabila dalam
minyak tersebut terkandung moisture yang banyak maka akan ada percikan air dan
asap/uap diatas minyak. Apabila itu terjadi maka sampel dikategorikan outspec
atau berkualitas jelek.
2.
Metode Oven
Pada analisa moisture dengan metode
ini biasanya digunakan untuk analisa kadar moisture untuk berbagai sampel.
Analisa jenis ini merupakan jenis analisa kualitatif dan kuantitatif, jadi
berapa persen kandungan air di dalam minyak didapatkan dari hasil perhitungan.
Tahapan yang dilakukan adalah minyak di oven pada suhu 130 oC selama
30 menit. Pada suhu tersebut air yang ada di dalam minyak diharapkan akan
teruapkan. Kemudian baru ditimbang sehingga didapatkan persen kadar air di
dalamnya.
3.
Metode Karl Fisher
Pada analisa metode Karl Fisher ini digunakan
untuk mengukur kadar air dalam sampel dengang menggunakan prinsip titrasi
redoks. Titran yang akan digunakan adalah pereaksi Karl Fisher, yaitu campuran
iodin sulfur dioksida dan piridin dalam metanol. Adapun reaksi yang terjadi
adalah reduksi iodin oleh SO2 dengan adanya air.
I2 + SO2 + 3RN + CH3OH
+ H2O --> 2RN-HI +
RN-HSO4CH3
Adapun reaksi
hidrolisis terbagi menjadi 2, yaitu :
i.
Hidrolisis
Partially
Reaksi hidrolisis partially adalah reaksi hidrolisis dimana
pemutusan ikatan oleh air hanya terjadi sebagian. Pada hidrolisis partially ini
produk yang dihasilkan dimungkinkan :
a.
1 digliserida
dan 2 asam lemak bebas
b.
1 monogliserida
dan 2 asam lemak bebas
c.
1 digliserida,
1 monogliserida dan 2 asam lemak bebas.
ii.
Hidrolisis
Fully
Reaksi hidrolisis fully adalah reaksi hidrolisis
dimana pemutusan ikatan oleh air terjadi keseluruhan. Pada hidrolisis ini
produk yang dihasilkan adalah gliserol dan air.
Adapun faktor yang mempercepat laju
reaksi hidrolisis adalah :
Ø Moisture content
Semakin banyak jumlah kandungan dari
moisture maka laju hirolisis nya semakin cepat, dikarenakan air sebagi reaktan
yang akan bereaksi dengan trigliseridanya
Ø Suhu
Akibat adanya pemanasan akan
menyebabkan energi kinetik dari atom atom akan naik dikarenakan semakin tidak
teraturnya dari molekul-molekul di dalam sampel, akibat nya entropi meningkat,
dan kemungkinan untuk terjadi tumbukan semakin besar sehingga reaksi hirolisis
semakin cepat terjadi.
Ø Katalis
Adanya katalis ini akan mempengaruhi
laju reaksi, dimana katalis ini nanti akan menurunkan energi entalpi suatu
reaksi menjadi lebih rendah, akibatnya reaksi dengan mudah dan cepat terjadi.
3)
Iodine Value (IV)
Nilai iodine
value (IV) merupakan nilai yang menunjukkan tingkat ketidakjenuhan
minyak/lemak. Adapunprinsip dalam analisa ini adalah asam lemak yang tidak
jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa
yang jenuh. Besarnya jumlah yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap
atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang
diserap oleh 100 gram minyak atau lemak.
Semakin tinggi
nilai IV menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuhnya banyak, sehingga
ikatan rangkap (tak jenuh) yang ada dalam minyak banyak sehingga tampilan fisik
nya semakin cair. Hal tersebut dikarenakan semakin ikatan rangkap dari suatu
senyawa banyak maka massa jenisnya semakin mendekati satu, massa jenis
mendekati satu maka minyak semakin cair. Selain itu, IV tinngi menunjukkan
bahwa fraksi padat (stearin) sedikit, dan fraksi cair (olein) banyak.
Semakin rendah
nilai IV menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuhnya sedikit, sehingga
ikatan rangkap (tak jenuh) yang ada dalam minyak juga sedikit sehingga tampilan
fisiknya semakin kental. Hal tersebut dikarenakan semakin ikatan rangkap dari
suatu senyawa sedikit maka massa jenis dari senyawa tersebut semakin lebih dari
satu yang artinya minyak semakin kental dan tampilannya semakin padat. Minyak
dengan nilai IV kecil, maka minyak tersebut semakin padat sehingga semakin
tahan panas. Akibatnya minyak dengan IV tinggi susah dicerna oleh tubuh,
dikarenakan minyak tersebut mempunyai melting point diatas suhu tubuh. Minyak
dengan IV rendah biasanya mempunyai meting point diatas 40 oC,
sedangkan suhu tubuh sendiri berkisar 36-37 oC. Maka dari itu pada
suhu tersebut minyak IV rendah belum meleleh secara sempurna.
Metode yang digunakan dalam analisa ini adalah dengan reagen Wijs.
Adapun syarat yang penting dalam analisa ini adalah sampel yang akan dianalisa
harus mempunyai ikatan rangkap. Ikatan rangkap yang ada nantinya akan bereaksi
dengan iodin yang ada pada larutan Wijs sehingga ikatan rangkapnya putus. Akan
tetapi, hal yang mendasar yang perlu diperhatikan dalam analisa ini, pastikan
larutan Wijs yang ditambahkan dalam keadaan lebih sebesar 100 – 150 % dari yang
diserap sampel. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisa
seberapa banyak ikatan rangkap yang ada dalam minyak/lemak tesebut. Larutan
Wijs ini nantinya sebagian akan bereaksi dengan ikatan rangkapa pada minyak,
dan larutan Wijs lebihnya akan bereaksi lanjut dengan air dan KI membentuk gas
I2, adanya gas I2 ini nantinya akan dihitung sebagai
larutan Wijs yang lebih/ yang tidak bereaksi dengan ikatan rangkap. Sehingga jika
kita tau larutan Wijs awal dan sisa, maka jumlah larutan Wijs yang berekasi
dengan ikatan rangkap akan didapatkan. Sedangkan untuk gas I2 yang terbentuk tersebut nantinya akan
dititrasi dengan natrium tiosulfat. Maka volume tiosulfat yan dipakai diketahui
yang mana sebanding dengan gas I2 yang dihasilkan.
Berdasarkan reaksi diatas diketahui bahwa untuk
menentukan IV maka adanya gas I2 sangat berpengaruh dalam hasilnya,
sehingga gas I2 harus dijaga untuk kemudian dilakukan titrasi dengan
toisulfat. Jika gas I2 lepas ke udara maka volume hasil titrasi
tidak tepat, hasil menjadi tidak valid dan akurat. Maka analisa nilai IV
membutuhkan ketelitian dan keakuratan yang baik.
Tabel
1 Kisaran penimbangan sampel pada penentuan IV
Material
|
Massa sampel (g)
|
Range IV
|
CPO
|
0,16
– 0,22
|
50
– 55
|
CPS/RST/HST
|
0,24
– 0,30
|
30
– 35
|
CPS/RST/SST
|
0,22
– 0,28
|
>36
|
RBDOL
|
0,14
– 0,20
|
min
56
|
RBDPO
|
0,18
– 0,24
|
50
– 55
|
ROL
Super
|
0,15
– 0,18
|
59
– 62
|
ROL
Super
|
0,14
– 0,17
|
>62
|
4)
Peroxide
Value (PV)
Nilai PV merupakan nilai yang menyatakan
tingkat kerusakan primer yang dialami oleh minyak/lemak yang mengalami oksidasi
primer. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen
pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Adanya senyawa peroksida
dalam sampel ini dapat ditentukan dengan metode iodometri. Sehingga nantinya
nilai PV menunjukkan jumlah miligram ekuivalen peroksida per 1000 g sampel yang
mengoksidasi KI pada kondisi proses. Semakin tinggi nilai PV
suatu minyak akan menyebabkan semakin mudah tengik dan kestabilan minyaknya
akan menurun dan semakin bersifat karsinogenik.
Pengujian dilakukan dengan cara mereduksi peroksida yang terdapat
dalam sampel dengan penambahan I- , sehingga terbentuk I2 bebas
yang selanjutnya ditetapkan kadarnya dengan Na2S2O3
berdasarkan prinsip titrasi redoks. Kadar I2 yang dibebaskan ini
mengindikasikan banyaknya peroksida yang terdapat dalam sampel.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Reaksi Oksidasi
Oksidasi pada
minyak/lemak sangat mudah terjadi yang disebabkan adanya kandungan ikatan tak
jenuh pada lemek/minyak tersebut. Reaksi oksidasi pada minyak dapat terjadi
selama proses produksi, penyimpanan, penggunaan, dan aplikasi. Oksidasi bisa
diakibatkan oleh Thermal oxydation,
enzymatic oxydation, dan radical oxydation.
Adapun faktor yang mempercepat terjadinya proses oksidasi antara
lain :
§ Logam
Adanya logam Fe/Ni, dan beberapa jenis
logam dalam minyak dapat menjadikan minyak mengalami oksidasi dikarenakan logam
tersebut bertindak sebagai katalis yang akan mempengaruhi laju reaksi semakin
cepat.
§ Suhu
Adanya peningkatan suhu atau
pemanasan menyebabkan molekul yang ada di dalam minyak semakin tidak beraturan,
yang akibatnya menjadikan nilai entropinya besar sehingga kemungkinan untuk
bertumbukan dan bereaksi semakin cepat.
§ Oksigen
Adanya senyawa O2 yang
masih mempunyai elektron bebas ini nantinya akan menyerang ikatan rangkap yang terkandung
dalam minyak membetuk senyawa peroxide. Adanya reaksi dengan oksigen ini
nantinya menjadikan minyak teroksidasi dan menjadi tidak stabil. Reaksi
berkelanjutan dapat membentuk aldehid dan keton yang menyebabkan bau minyak
tengik.
Adapun
reaksi yang terjadi sebagai berikut :
5)
Anisidine
Value (AnV)
Merupakan nilai yang menyatakan
tingkat kerusakan sekunder yang dialami oleh minyak/lemak. Oksidasi sekunder
ini merupakan oksidasi lanjutan dari oksidasi primer, dimana peroxide yang
dihasilkan pada oksidasi primer kemudian mengalami oksidasi lanjut membentuk
aldehid dan keton. Semakin tinggi nilai AnV akan menyebabkan minyak menjadi
tidak stabil, dikarenakan semakin banyak senyawa aldehid dan keton yang
bersifat polar. Selain itu nilai
adanya senyawa aldehid dan keton tersebut
menyebabkan bau tengik pada minyak dan mempunyai toksisitas tinggi.
Pada dasarnya nilai AnV ini tergantung dari
nilai PV. Semakin tinggi nilai PV suatu minyak maka kemampuan minyak tersebut
untuk mengalami oksidasi sekunder semakin besar juga. Nilai PV semakin suhu
tinggi maka akan semakin naik tajam diawal peningkatan suhu, tetapi ketika pada
suhu tertentu maka akan mengalami titik puncak kemudian menggalami penurunan.
Hal tersebut dikarenakan adanya oksidasi sekunder pada peroxide dari hasil
oksidasi pertama yang akan membentuk aldehid dan keton yang akan terukur dalam
nilai AnV. Nilai AnV pada awal peningkatan suhu akan mengalami kenaikan tetapi
tidak signifikan karena peroxide yang dihasilkan jumlah sedikit, kemudian
semakin lama maka jumlah peroxide meningkat sehingga jumlah nilai AnV pun
meningkat secara tajam. Titik dimana senyawa ikatan rangkap sudah teroksidasi
semua merupakan titik puncak PV, yang kemudian akan semakin menurun jumlahnya
dikarenakan hasil PV mengalami oksidasi lanjut membentuk aldehid dan keton.
Untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada grafik pada Gambar 5.
6)
Lovibond
Color
Komponen utama yang menyebabkan warna pada minyak goreng adalah
pigmen karoten sebagai penyumbang warna kuning, antosianin sebagai penyumbang
warna merah dan klorofil sebagai penyumbang warna hijau. Pengukuran warna pada
Lovibond Tintometer ditentukan pada komposisi warna merah dan kuning. Nilai colour
meningkat baik karena lama waktu pemanasan maupun karena kenaikan temperatur
pemanasan. Pemanasan pada minyak goreng menyebabkan perubahan warna yang lebih
gelap. Adanya kandungan logam memperparah warna minyak goreng. Logam selain
memicu reaksi oksidasi lebih cepat juga mempunyai andil dalam penggelapan
minyak goreng.
Metode yang digunakan dalam penetuan warna
adalah dengan menggunakan pencocokan warna dari transmisi cahaya melalui cairan
minyak atau lemak pada batasan tertentu ke warna dari sumber sinar yang sama,
yang ditransmisikan melalui standar glass. Prinsip yang digunakan adalah warna
dari sampel dibandingkan dengan suatu kombinasi warna merah, kuning, dan biru
dari standar warna. Adapun aturan untuk penentuan warna pada minyak biasanya
berdasarkan rumus 1:10 merah dan kuning untuk minyak turunan palmitat.
Sedangkan untuk minyak turunan laurat tidak terpaku aturan tersebut.
7)
Impurities
Impurities
merupakan semua komponen yang tidak larut dalam minyak, dapat berupa fibre,
logam, batu, pasir, senyawa organik dan anorganik lainnya. Impurities perlu
dilakukan analisa agar kemurnian dari minyak diketahui.
Metode
yang digunakan dalam pengukuran impurities adalah dengan melarutkan minyak ke
dalam pelarut non polar, sehingga senyawa yang tidak dibutuhkan yang tidak
larut dalam minyak (pengotor) dapat terpisahkan dengan adanya pelarut nonpolar.
Kemudian dilakukan penyaringan dengan penyaringan Buchner (menggunakan vacum)
agar dapat terpisahkan dengan baik. Kemudian berat pengotor dalam kertas saring
ditimbang. Untuk mengetahui persen iinpurities maka berat pengotor dalam kertas
saring dikurangi berat kertas saring dibagi dengan berat sampel dikalikan 100%.
Minyak yang mempunyai kualitas baik adalah minyak dengan kandungan impurities
sesedikit mungkin. Impurities banyak menandakan proses degumming dan bleaching
tidak berjalan dengan baik, sehingga gum, logam dan pengotor lainnya masih
berada dalam minyak.
8)
DOBI
(Deotorization of Bleaching Indeks)
Merupakan nilai yang
menyatakan tingkat kemudahan pemucatan dari CPO. Nilai ini merupakan nilai yang
didapatkan dari nilai perbandingan antara jumlah karoten terhadap nilai
kerusakannya (nilai oksidasi). Nilai DOBI secara signifikan mengindikasikan
kesegaran dari CPO. Semakin tinggi nilai DOBi dari suatu CPO menyatakan bahwa
jumlah senyawa karoten yang terkandung semakin besar dan jumlah senyawa yang
sudah teroksidasi sedikit. Sehingga minyak akan semakin mudah untuk dilakukan
reduksi warnanya. Pengukuran nilai Dobi ini dilakukan dengan menggunkan
spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm dan 269 nm. Panjang gelombang
446 nm merupakan panjang gelombang dari senyawa karoten dimana senyawa ini akan
menyerap sinar pada panjang gelombang tersebut. Sedangkan senyawa hasil oksidasi
akan menyerap pada panjang elombang 269 nm.
Adapun standar CPO yang baik adalah yang
mempunyai nilai DOBI >2,6. Pada nilai tersebut kandungan senyawa kaaroten
banyak dan kandungan senyawa hasil oksidasi sedikit, akibatnya untuk mereduksi
warnanya sangat mudah, hanya dengan menambahakan sedikit bleaching earth. Nilai
DOBI yang semakin kecil maka akan susah untuk mereduksi warnanya. Pada DOBi
<2,0 akan sangat sulit dilakukan reduksi warna meskipun dilakukan penambahan
BE dalam jumlah besar. Hal tersebut dikarenakan, bleaching earth yang harusnya
digunakan untuk mengikat senyawa karoten, karena senyawa hasil oksidasi banyak
maka bleaching earth akan lebih suka berikatan dengan senyawa hasil
oksidasi terlebih dahulu baru dengan
senyawa karoten. Bleaching earth yang bersifat polar akan lebih suka dengan
yang polar juga, dalam kasus ini senyawa hasil oksidasi (aldehid, keton dll)
cenderung lebih polar dibandingkan dengan karoten. Akibatnya dengan jumlah
penambahan BE yang sama maka untuk senyawa yang nilai DOBI rendah akan susah
direduksi warnanya.
Adapun penyebab nilai DOBi CPO rendah antara lain :
ü Minyak
yang diolah tidak segar. Minyak yang tidak segar telah mengalami proses
oksidasi, sehingga kandungan senyawa aldehid/keton di dalamnya semakin banyak.
Atau minyak yang diolah merupakan campuran dari minyak segar dengan tidak
segar.
ü Pada
proses pengolahan kelapa sawit, buah yang diolah masih muda. Buah yang masih
muda ini kandungan karotennya relatif sedikit dan kandungan klorofilnya banyak.
Akibatnya warna akan susah direduksi
Buah yang diolah terlalu
matang. Buah yang terlalu matang biasanya memang menghasilkan karoten yang
banyak, akan tetapi jumlah senyawa aldehid dan keton juga banyak karena enzim
dalam buah bekerja terus membentuk senyawa ini.
9)
Karoten
Nilai karoten menyatakan jumlah karoten yang
terkandung di dalam CPO. Nilai karoten penting untuk dilakukan analisis karena
dengan mengetahui nilai ini maka kematangan buah pada saat diolah juga
diketahui. Pada dasarnya nilai ini selaras dengan nilai DOBI. Semkin besar
nilai karoten maka minyak semakin segar, yang artinya minyak belum mengalami
oksidasi, kalaupun sudah teroksidasi dalam jumlah yang sedikit.
Adapun perhitungan dari nilai karoten ini
sendiri adalah sebagai berikut :
Nilai 383 didapatkan dari BM senyawa karoten
yang mempunyai berat molekul 383 mol/g. Nilai karoten dari suatu CPO yang
dikatakan baik adalah sebesar 450 min.
10)
Cloud
Point (CP)
Nilai CP merupakan nilai
yang menyatakan kemampuan minyak untuk tahan terhadap proses mengkabut
(cloudy). Nilai CP perlu diketahui dengan tujuan untuk mengetahui suhu
penyimpanan dari suatu minyak agar kualitas minyak tetap terjaga terutama pada
suhu dingin seperti di supermarket. Adapun nilai CP ini dipengaruhi dari
beberapa parameter, antara lain :
1. Nilai
IV
Semakin nilai IV pada suatu minyak tinggi maka
fraksi cair dalam minyak (olein) semakin banyak sedangkan fraksi padat
(stearin) sedikit. Akibatnya kemapuan minyak pada suhu tertentu untuk memadat
(menggkabut) semakin susah dikarenakan fraksi padatnya sedikit. Sebaliknya,
jika IV minyak rendah maka fraksi cair sedikit dan fraksi padat banyak, maka
kemampuan minyak untuk memadat semakin cepat, suhu tidak terlalu rendah.
2. Adanya
moisture
Adanya moisture di dalam minyak juga akan
berpengaruh terhadap nilai CP. Diketahui bahwa moisture(air) bersifat polar,
sedangkan fraksi padat dalam minyak (stearin) lebih bersifat polar dari pada
olein. Akibatnya apabila dalam minyak mengandung banyak moisture maka akan
mempolarisasi fraksi padat untuk semakin memadat, sehingga nilai CP semakin
rendah (menuju suhu 10 oC).
Pada saat pengujian
nilai CP tahapan yang harus dilakukan adalah minyak dihomogenkan terlebih
dahulu dengan dipanaskan pada suhu 100-110 oC selama 15 menit dengan
tujuan agar minyak benar benar homogen, dan tidak ada kristal dalam minyak yang
nantinya dapat mempolarisasi olein, akibatnya nilai CP tidak akurat. Selain
itu, pemanasan pada suhu tersebut dengan tujuan untuk menguapkan kandungan
moisture di dalam minyak.
11)
Melting
Point (MP)
Melting point (titik
lebur) merupakan nilai yang menyatakan ketahanan suatu padatan/kristal untuk
mencair. Nilai MP ini berperan penting apabila suatu material minyak/lemak akan di aplikasikan. Adapun yang mempengaruhi
nilai dari MP ini sendiri adalah :
v Nilai
IV
Semakin tinggi nilai IV
dari minyak maka kandungan fraksi cair daro minyak tersebut semakin banyak dan
kandungan fraksi padatnya semakin sedikit. Akibatnya ketahanan dari
minyak/lemak yang mempunyai IV tinggi terhadap perubahan bentuk ke fasa cair
semakin rendah. Sehingga nilai MP untuk minyak Iv tinggi adalah kecil (menuju
nol). Sedangkan untuk minyak/lemak yang ber Iv rendah, maka kandungan minyak
tersebut lebih banyak fraksi padatnya. Akibatnya ketahanan untuk mengalami
perubahan bentuk menuju cair semakin baik tinggi. Sehingga nilai MP untuk
minyak yang mempunyai IV rendah adalah tinggi.
Titik lebur itu sendiri adalah suhu dimana
sebuah kolom yang berisi minyak/lemak, dengan panang tertentu akan naik pada
tabung kapiler terbuka dibawah kondisi tertentu. Adapun tahapn dalam analisa MP
adalah 3 pipa kapiler dicelupkan ke dalam minyak dengan panjang sama. Kemudian
dimasukka kulkas agar memadat, kemudian dimasukan kedalam penangas air yang
dihangatkan dengan kecepatan berputar tertentu sampai titik lebur, yaitu pada
saat minyak mulai bergerak ke atas. Yang perlu diperhatikan dalam analisa ini
adalah, sebelum dilakukan analisa, pastikan sampel benar benar homogen, tidak
ada krisata yang teah terbentuk dahulu di dalam sampel, tinggi dari sampel
dalam pipa kapiler harus sama dan tidak boleh ada rongga udara didalam pipa
kapiler. Selain itu, suhu air penangas pada saat mulai akan dipanaskan agar
disesuaikan dengan suhu kulkas. Hal ini dimaksudkan agar, minyak dengan IV
tinggi tidak melebur dahulu sebelum dilakukan analisa, karena faktor suhu
lingkungan (25 oC).
12)
Solid
Fat Content (SFC)
SFC merupakan nilai yang
menunjukkan jumlah fraksi padat dalam sampel minyak/lemak pada suhu tertentu.
Pentinganya nilai SFC ini adalah untuk mengetahui karakteristik dari suatu
minyak/lemak agar mudah ketika diaplikasikan. Adapun hal yang didapatkan dari hasil
analisa ini adalah, kita dapat mengetahui jumlah kandungan padat pada suatu
lemak/dalam berbagai suhu.
Adapun tahapan dalam melakukan SFC ini adalah,
minyak/lemak dipanaskan terlebih dahulu agar homogen. Kemudian dituang ke dalam
pipa kecil dan di masukkan ke dalam waterbath 70-80 oC selama 30
menit dengan tujuan untuk menjamin bahwa semua kristal telah larut. Lalu
dimasukkan ke dalam waterbath 0 oC selama 1,5 jam, untuk proses
pembentukkan kristal kristal minyak. Waktu pada proses ini harus benar-benar
diperhatikan karena pada proses ini pembentukkan kisi-kisi dari kristal,
semakin cepat waktu ini maka akan berakibat kisi kristal yang harusnya
terbentuk sempurna menjadi tidak terbentuk. Semakin lama waktu pada proses ini
juga akan berpengaruh, karena kisi kristal yang terbentuk yang harusnya tidak
memadat, akan memadat dan semakin mengikatkan kristal-kristal sehingga kristal
akan semakin kuat. Akibatnya jika tidak dikontrol waktunya akan menggangu nilai
SFC. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam waterbath masing-masing mulai dari
10-40 oC, untuk melihat karakteristiknya dilakukan pembacaan dengan
NMR. Pada proses ini yang dihitung adalah yang cair, bukan yang padat baru
kemudian di konversi ke jumlah sampel yang padat. Hal tersebut karena prinsip
dari insntrument NMR sendiri adalah mengukur nilai resonansi suatu senyawa,
sehingga sampel padatan yang tidak bisa beresonansi tidak dapat diukur.
Pada dasarnya metode
analisa SFC ada beberapa :
1. Metode
pararel yang meliputi
a. Non
tempering methode.
Metode ini yang paling umum digunakan
karena lebih mudah dan relatif singkat waktunya karena tanpa adanya pemanasan
pada 26 oC selama 40 jam.
b. Tempering
Methode
Metode ini jarang digunakan karena
relatif lama waktu analisanya, menggunakan pemanasan selama pada 26 oC
40 jam.
2. Metode
Seri
Prosedur
nya sama dengan non tempering, adapun hal yang membedakan adalah proses ini
dilakukan secara estafet (seri) yaitu setelah sampel dari waterbath 10 oC
diuji, kemudian sampel dipindahkan ke suhu 20 oC dilakukan pembacaan
begitu seterusnya sampai suhu 40 oC.
Hasil
data yang didapatkan nantinya akan memperlihatkan 3 hal :
1. Melting
properties
Berdasarkan data SFC maka akan dapat diprediksikan
sampel akan mempunyai nilai MP pada suhu berapakah. Karena pada data tersebut
ditunjukkan komposisi cairan dan padatan dari minyak pada tiap-tiap interval
suhu. Sehingga untuk memperkirakan minyak mengalami peleburan semuanya akan
diketahui.
2. Hardness
dan fiftness
Kekerasan dan kelunakan dari minyak/lemak akan diketahui.
Ini nantinya akan berkaitan dengan aplikasi, terutama pada texturizing. Dapat
diketahui bahwa minyak/lemak akan mengalami kekerasan maksimal pada suhu sekian
dana akan mengalami pecairan total pada suhu sekian, sehingga akan memudahkan
adalam aplikasi.
13)
Fatty
Acid Compositian (FAC)
FAC merupakan nilai yang menunjukkan
kandungan asam lemak dan non asam lemak yang terkandung pada suatu
minyak/lemak. Prisip yang digunakan dalam analisa ini dalah dengan GC (Gas
Chromatography). Tahapn proses ini adalah sebelumnya dilakukan reaksi
penyabunan terlebih dahulu dengan skala kecil. Hal tersebut bertujaun agar
terbentuk asam asam lemak yang nantinya akan dilakukan analisa. Penambahan NaOH
dalam metanol dilakukan pada proses ini agar reaksi penyabunan menghasilkan
asam lemak dan air terjadi. Kemudian kandungan air diikat denagn Na2SO4
anhidrous. Sampel disaring dan dilakkan pengujian dengan GC. Dengan
diketahui profile asam lemak dan juga kandungannya ini nantinya dapat
memudahkan dalam aplikasi, rekontruksi lemak, sifat fisika dan kimia, dan
tujuan tujuan lainya.
14)
Break
Test
Merupakan analisa untuk
mengetahui adakah reaksi oksidasi dalam suatu sampel. Analisa ini bertujuan
untuk mengkontrol bahwasanya proses degumming secara baik dan efektif
dilakukan. Tahapan dalam analisa ini adalah dengan menambahkan sampel dengan
asam fosfat kemudian dipanaskan. Asam fosfat berfungsi untuk menggikat gum-gum
fosfolipida dalam CPO. Setelah dipanaskan akan terbentuk dua lapisan. Lapisan
atas berupa lapisan polar dan lapiasn bawah lapisan nonpolar. Untuk mendeteksi
ada tidaknya gum gum yaiitu dengan terbentuk tidaknya cincin hitam. Cincin
hitsm ini menandakan bahwa adanya gum fosfolipida yang terkandung dalam sampel
yang terikat oleh asam fosfat. Adanya cincin hitam ini menandakan bahwa proses
degumming tidak bekerja dengan baik.